Breaking News

Menyeramkan Cerita Nyata Misteri: Pasien Misterius di Rumah Sakit Tua



Berdasar cerita riil. Dikisahkan langsung oleh narasumber, yang sebab fakta spesial, tidak ingin disebutkan namanya.

Malam hari ini saya terbaring di salah satunya kamar rumah sakit di tepian Kabupaten X. Jendela kamar yang dibiarkan terbuka, membuat angin di luar bebas menyerang kulit, tembus setiap inci pori-pori.

Situasi sepi. Kadang-kadang aroma rumah sakit yang ciri khas menyerang hidung. Tembus tembok-tembok putih kusam. Demikian sunyi, demikian ganjil. Sama rumah kosong yang telah lama ditinggal pemiliknya. Saya terbangun sendiri. Tik tok tik tok, cuma ada suara jarum jam yang menegur.

Walau larut malam, ruang ini berasa semakin pengap. Diperlengkapi dengan suara rintihan yang benar-benar mengganggu. Sayup-sayup, entahlah dari bilik mana, terdengar suara seorang menyiram air ke kloset. Seorang pasien wanita tua paling ujung, dibantu keluarganya untuk buang air, selanjutnya perlahan-lahan dia kembali pada dalam selimutnya.

Dibalik semuanya, dibawah kesadaran semasing makhluknya, kematian seperti melihat tiap manusia di setiap cuplikan waktu yang dilaluinya. Dia menanti, sampai waktunya pas. Dia mencabut kehidupan dengan beberapa langkah. Tanpa ada pengampunan.

Serta pada detik itu, salah satu hal yang jadikan segala hal lebih baik ialah menyebutkan nama Tuhan.

Bangsal tempatku dirawat bukan kamar inap berkualitas. Dalam ruang tujuh kali enam mtr., enam pasien sama-sama berhimpitan. Ranjang pasien yang satu yang lain cuma dibatasi tirai berwarna biru langit yang tidak dapat seluruhnya tutupi panorama antar pasien.

Saya betul-betul dapat lihat seorang pasien di seberang bilik kadang-kadang menggigit bibirnya, selanjutnya mengeluh kesakitan. Beberapa lainnya terlelap dalam mimpi mereka, nafasnya yang berat benar-benar mengganggu ketenangan malam hari ini.

Ngik.. ngik..

Suaranya seperti tambang kematian yang ditarik-ulur oleh pencabut nyawa.

Keluarga pasien yang menunggui turut terlelap sembarangan. Terkapar dibawah ranjang beralas tikar, bertumpu di tembok. Ada juga yang duduk di bangku plastik samping pasien dengan kepala tertelungkup di bibir ranjang, menunggui sesosok sepuh yang sekarang telah terlelap. Setahuku, mereka ialah keluarga yang paling bising.

Tadi siang mereka tersedu-sedu, serta ada ibu-ibu yang menangis kencang di muka bangsal. Rupanya si pasien tidak dapat ditolong oleh dokter rumah sakit. Harus dibawa ke rumah sakit di kota, yang konon tambah lebih kekinian peralatannya.

Kata si dokter, mereka kemungkinan biarkan si orangtua untuk mati. Faktanya, tidak mempunyai ongkos untuk bawa si kakek ke rumah sakit yang lebih hebat.

Barusan pagi seorang pasien—lelaki paruh baya—yang terkapar di ranjang pas di samping kananku wafat. Walau sebenarnya satu hari waktu lalu, dia masih terlibat perbincangan denganku. Dia akui cuma masuk angin, tetapi telah dua hari kesehatannya tidak segera lebih baik.

Selanjutnya dia kontrol ke puskesmas. Kata perawat di puskesmas, dia terserang angin duduk. Bukan permasalahan besar. Dia dianjurkan untuk lebih baik dirawat di rumah sakit saja. Walau sebetulnya dia menampik dengan fakta: “hanya masuk angin biasa.”

Semenjak pertama-tama saya tersadar di bangsal, lelaki paruh baya itu menceritakan jika dia telah bermalam hampir satu minggu.

“Tidak kerasan!” katanya saat itu.

Berkali-kali, dia bersikukuh untuk pulang. Dia berujar, dirawat di rumah sakit tidak mengubah apa saja. Saling sakitnya lebih baik dia sakit di dalam rumah, tidak mesti bayar, tuturnya. Ah, saya sama pendapat dengannya.

Tetapi jam tujuh pagi pada hari barusan, dia seperti membangunkan tidurku, seakan berpamitan padaku. Cepat pulih, katanya sekalian tersenyum. Saya membalasnya dengan perkataan terima kasih.

Mendekati magrib, saya merasakan berita jika dia wafat barusan pagi. Mengambil dengar dari salah seorang perawat, tuturnya dia wafat tanpa ada ditemani seorang juga dari keluarganya.

Kematian memang demikian misterius, sama misteriusnya dengan kehidupan. Tidak dapat ditebak atau dibohongi. Juga saya tadi pagi dipamiti.

***

Tik-tok-tik..

suara jarum jam masih setia pada porosnya. Magrib bertukar pekat malam. Suara rintihan telah bertukar jadi dengkuran.

Ditengah-tengah sayup-sayup dalam penerangan seadanya, terdengar suara langkah kaki dari terlalu jauh. Kemungkinan seorang perawat yang sedang piket, pikirku. Mataku berpetualang ditengah-tengah lampu bangsal remang –yang malah makin memperlihatkan siluet beberapa orang di bangsal.

Empat pasien berada di ranjangnya semasing. Lihat beberapa orang ini tergkapar di ranjangnya, saya betul-betul seperti dipecut bukti jika manusia hanya makhluk ringkih.

Tetapi lampu yang tidak demikian jelas malah menajamkan inderaku lainnya.

Derap langkah barusan terus terdengar makin jauh. Kukira dia akan masuk ke bangsal ini, batinku. Saya tutup mataku perlahan-lahan, memaksakan kesadaranku kembali pada alam mimpi. Mendadak, ranjang di sebelahku berdecit. Oh, perawat telah mulai membereskan ranjang. Kemungkinan ada pasien baru, pikirku.

Saya ingin tahu lalu mengusap gorden pembatas di samping kiriku. Seorang yang bungkuk memunggungiku. Pakaian yang Dia gunakan tidak seperti seorang perawat. Dari posturnya, saya seperti mengenalnya walau baru saja. Lebih seperti jubah, tetapi kotor. Ada bekas-bekas tanah merah di pakaian yang dikenai itu.

“Pak?” Ujarku pendek. Dia berpaling padaku.

“Oh, Nak, kakek kembali. Di luar sana dingin, tanahnya berbau,” katanya sekalian tersenyum.

Saya meringis. Selanjutnya semua gelap. Rasa-rasanya betul-betul tidak dapat diakui.

Di rumah sakit, kamu tidak cuma dapat merasai pengalaman hampir mati—tapi dapat juga didatangi orang mati.

Arsip Blog

Popular Posts